Sunday 21 April 2013

Cerita Pantun Perginya Pajajaran

sebuah kerajaan dari tanah pasundan dengan raja yang sangat terkenal di seluruh nusantara yaitu Prabu Siliwangi. iya, kerajaan tersebut bernama kerajaanan Pajajaran. ada sedikit cerita dari kerajaan tersebut, cerita ini saya temukan dari salah satu grup yang ada di facebook. cerita ini berjudul
Cerita Pantun Perginya Pajajaran. untuk lebih jelasnya silahkan di baca ceritanya..
                                      



Cerita Pantun Perginya Pajajaran
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!

Prabu Siliwangi berpesan kepada para pengikut Pajajaran yang ikut mundur pada saat sebelum beliau menghilang. Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar.
Kalian harus memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini, tapi Pajajaran yang baru, yang berdirinya mengikuti perubahan jaman!
Pilih : aku tidak akan melarang. Sebab untukku, tidak pantas jadi raja kalau rakyatnya lapar dan sengsara.
Dengarkan!
Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan!
Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara!
Yang ingin berbakti kepada yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur!
Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!
Dengarkan!
Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus tahu, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Kalian yang di sebelah barat! Telusuri oleh kalian jejak Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan menjadi pengingat dan menyadarkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya.
Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian akan dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan dinanti-nanti, sebab nanti telaga akan jebol! Silahkan pergi! Tapi ingat jangan menoleh kebelakang!
Kalian yang di sebelah utara; Dengarkan!
Kota yang kalian datangi sudah tidak ada, yang kalian temui hanya padang ilalang. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Apabila ada yang memiliki pangkat, akan tinggi pangkatnya, tetapi tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti keturunan kalian bakal kedatangan tamu. Banyak tamu yang datang dari jauh, tapi tamu yang susah dan menyusahkan. Waspadalah!
Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus tingkah lakunya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang memiliki ilmu yang cukup, yang mengerti tentang keharuman yang sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya.
Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang namanya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak!
Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, tetapi menelusurinya harus memakai dasar (amparan). Tapi sayangnya yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong jadi harus sampai edan dulu.
Nanti banyak akan diketemukan, sebagian-sebagian. Sebab keburu dilarang oleh Pemimpin Pengganti!
Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah ANAK GEMBALA. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeueleum dan hanjuang.
Apa yang dia gembalakan?
Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Sebagian disembunyikan, sebab belum waktunya untuk diceritakan. Nanti kalau sudah tiba pada waktunya, banyak yang terbuka dan banyak yang meminta untuk diceritakan.
Tapi harus menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Dengarkan!
Yang saat ini memusuhi kita, mereka berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanah kering di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau besar. Nah di situlah, se-negara akan jadi tegalan, tegalan untuk kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota (alun-alun). Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba murah dan cukup makanan (pangan).
Semenjak itu, bajak dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Tinggal tegalan diserbu monyet!
Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh monyet, tempat penyimpanan padi habis oleh monyet, kebun habis oleh monyet, sawah habis oleh monyet, ladang diacak-acak monyet, perempuan hamil oleh monyet. Semuanya diserbu oleh monyet. Keturunan kita takut oleh yang meniru-niru monyet. “Panarat” (ini adalah alat bajak tradisional yang biasanya ditarik oleh kerbau, panarat adalah kepala bajak dan biasanya dipegang oleh petani untuk mengendalikan arah dan laju kerbau, biasanya petani sambil duduk di panarat ini). Sedangkan Wuluku (adalah alat pertanian tradisional yang digunakan untuk meratakan tanah di sawah, biasanya wuluku dipasang di belakang kerbau kemudian ditarik), ditarik keturunan bangsa kita. Banyak yang mati kelaparan.
Dari situ, banyak keturunan kita, yang mengharapkan tanaman jagung, sambil sok tahu membuka caturangga. Mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi. Lalu sayup-sayup dari ujung laut (samudera) utara terdengar gemuruh, Garuda menetaskan telur. Bumi ini bergetar seperti dilanda gempa!
Sementara di negara kita?
Ramai oleh orang yang ingin kabur, keadaan kacau sejadi-jadinya. Monyet-monyet lumpuh. Lalu keturunan kita mengamuk, mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak orang berpangkat memerintah dengan cara yang gila; yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil tumbuh menjadi bapak; yang mengamuk tambah kuat, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Negara kita menjadi sangat ribut/kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, yang kena lempar dan rusak sarangnya. Seluruh Nusantara dijadikan tempat jagal. Tetapi……keburu ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.
Lalu berdiri lagi penguasa/Raja yang berasal dari orang biasa. Tapi memang titisan/keturunan raja. Keturunan raja jaman dahulu yang ibunya adalah seorang putri dari Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja, penguasa baru susah dianiaya!
Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti peran! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya bintang/komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Lalu akan ada lagi raja, tapi Raja Buta –kata buta didalam istilah Sunda bermakna ganda, buta = tidak melihat, dan buta = raksasa/genderuwo yaitu sebangsa mahluk gaib yang jahat,tapi dalam bait ini sepertinya mengacu kepada istilah raja yang tidak melihat— yang membuat pintu tapi tidak boleh ditutup, membuat kolam pancuran air di tengah jalan. Memelihara elang di pohon beringin. Dasar raja tidak melihat! Bukan raja raksasa/genderuwo, tapi buta karena tidak melihat, buaya dan serigala, kucing garong dan monyet menggerogoti rakyat yang sedang susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang ditangkap (diporog) –porog adalah semacam alat yang terbuat dari serat pohon pisang yang diletakan di lubang sarang burung untuk menangkapnya– bukan hewannya, tapi orang yang memberikan peringatan tersebut.
Semakin kedepan semakin kedepan, banyak raksasa yang buta tidak melihat, menyuruh kembali untuk menyembah berhala. Jalannya negara tidak beraturan, hukum dan aturan kacau dan terbelit-belit, karena yang mengendalikannya/mengatur wuluku (bajak) bukan petani. Jadi wajar saja bila bunga teratai tidak berisi sebagian, kembang kapas tidak berbuah, padi banyak yang masuk penanak nasi; sebab yang berkebunnya tukang bohong, yang bertani-nya hanya tukang janji-janji belaka, yang pintar terlalu banyak, tapi pinter kebelinger.
Kemudian datang pemuda berjanggut, datangnya cuma sebentar sambil menyandang kantong tua mencoba memperingatkan yang sedang salah langkah, memperingatkan yang sedang kelupaan, tapi tidak ditanggapi. Karena pinternya kebelinger, maunya hanya menang sendiri. Mereka tidak sadar, bahwa saat itu langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian.
Alih-alih ditanggapi, pemuda berjanggut ditangkap lalu dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak dapur orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan. Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang Pajajaran untuk diceritakan. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka sebenarnya yang menjadi gara-gara selama ini.
Penguasa-penguasa buta, semakin hari semakin keterlaluan, melebihi kerbau bule. Mereka tidak menyadari bahwa jaman waktu itu sudah masuk kedalam jaman : jaman hewan. Jaman manusia dikuasai oleh hewan!
Kekuasaan para raksasa (buta) ini tidak berlangsung lama; tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat, banyak rakyat yang kemudian mengharapkan beringin patah di tengah kota. Para raksasa buta akan menjadi tumbal, tumbal karena kelakuannya sendiri.
Kapan waktunya?
Nanti, saat munculnya anak gembala!
Dari situ banyak yang ribut; bermula di satu daerah kemudian semakin lama semakin besar dan meluas ke seluruh nusantara. Orang yang tidak tahu masalah menjadi gila dan ikut-ikutan berkelahi, dipimpin pemuda gendut! Sebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan. Yang serakah ingin dapat paling banyak; yang memang punya hak meminta bagiannya. Hanya yang sadar mereka pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terkena getahnya.
Yang bertengkar lalu berhenti. Mereka baru sadar kalau semuanya tidak mendapatkan bagian. Sebab warisan sudah habis, habis oleh mereka yang menggadaikan.
Para raksasa kemudian menyusup, yang berkelahi menjadi ketakutan, ketakutan difitnah telah menghilangkan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai pintunya setinggi batu, yang beratap oleh pohon handeuleum dan bertiang pohon hanjuang.
Mencari anak tumbal, tadinya hendak meminta tumbal. Tapi, anak gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati.
Dengarkan!!
Jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Geger lagi seluruh nusantara. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian anak gembala. Silahkan pergi, tapi ingat jangan menoleh kebelakang!

kesederhanaan yang mententramkan

ini adalah tulisan orang - orang bijak, yang selalu memberikan saya motivasi untuk kehidupan yang lebih baik dan kehidupan yang sempurna. kehidupan yang penuh rasa syukur atas segala nikmat dari Sang Pencipta. agar bisa menghargai dan menerima dengan apa adanya dan penuh rasa iklas semua yang telah di berikan pada kita semua. langsung aja baca artikelnya di bawah ini.
                                      

kesederhanaan yang mententramkan
Bumi cukup persediaan untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan kita(Gandhi). Kata-kata sang Mahatma dari India itu pernah aku saksikan langsung dalam kehidupan riil suku Bajo (suku laut) yang terasing. Dengan nada bergurau mereka katakan, “ lautan ini seperti kulkasnya Tuhan. Kita boleh mengambil kapan  dan apa saja isinya, tanpa harus merasa sebagai penguasa/pemilik apalagi merusak lemari esNya.” Aku juga pernah masuk di beberapa suku di pedalaman belantara. Mereka juga tidak pernah merasa sebagai penguasa/pemilik itu hutan. Mereka justru merasa jadi bagian dari belantara. Dan mereka mencintai sekaligus menghormati tempat tinggal hidupnya itu.
            Orang-orang yang katanyanya modernlah yang kemudian mematok HPH disana-sini. Para penganut pragmatisme yang selalu ingin mencapai target tertentu, lalu entah?. Pragmatisme yang seringkali juga diartikan sebagai kesediaan bermain curang dan menghalalkan segala cara?. Orang modern yang tidak ada bedanya dengan gerombolan pengendara motor besar, yang tidak toleran dengan sesama pemakai jalan/sesama pembayar pajak. Suka rame-rame menerobos lampu merah, dikawal polisi segala.
Mereka itu sesungguhnya hanya gerombolan para pengecut dan penakut yang tak paham rahasia petualangan. Masak petualang kok dikawal. Para penganut pragmatisme dan pengendara moge itu sebenarnya tidak ada bedanya dengan para pelaku bom bunuh diri. Sama-sama orang yang demam tujuan.  Orang yang ingin cepat-cepat sampai tujuan dan tidak bisa melihat dan mensyukuri keindahan dan rezeki yang dilimpahkan Tuhan disetiap langkah hidupnya. Orang yang merasa unggul tanpa dasar, suka bertingkah arogan dan meremehkan orang lain yang tidak masuk golongannya.
Saat ini banyak orang beragama/menjalankan laku spiritual karena dilandasi pemikiran pramatisme/otak pedagang. Ketika orang beribadah atau beramal dengan harapan bisa masuk Surga, jujur itu juga spiritual yang dilandasi otak dagang, spiritual penuh pamrih alias spiritual achievement.  Sudah lama aku tinggalkan spiritual sok tahu, sok pintar, sok suci, sok pasti dan sok benar sendiri seperti itu. Dan pada orang-orang sederhana yang gaptek, udik itu, justru aku kini banyak belajar tentang ketulusan dan kejujuran yang sekarang seperti jadi mahkluk langka.
Hidup tidaklah sepenuhnya merupakan perhitungan untung dan rugi. Spiritual itu tidak harus cantik, modis, sexy dan pintar, seperti SPG yang bersiasat mengambil hati orang lain dan memperoleh hasil besar karena senyum manis di bibir. Spiritual tidak ada hubungannya dengan surban, jenggot ataupun jubah. spiritual adalah soal ketulusan, kejujuran kerendahan hati, toleransi, keterbukaan, sekaligus keberanian bersikap walau harus menentang mainstream. Tidak menipu diri, bahagia dengan hidupnya dan tak pernah demam tujuan.
Pronocitro jatuh cinta pada Roro Mendut dan menikmati cinta itu tanpa peduli apa nanti hasilnya. Mereka juga siap mati demi cinta, tanpa bertanya buat apa? Untungnya apa? Ada kekonyolan disana, sekaligus kejujuran. Ada kenekatan disana, sekaligus keindahan yang tidak palsu.
Dari orang-orang sederhana itu aku banyak belajar, untuk bisa menangkap keindahan dari hal-hal sederhana yang ada disekitar langkah kita. Hidup dengan keindahan itu yang membuat kita bisa bersyukur. Bisa memberi tanpa pernah merasa kehilangan.  Merasa cukup tanpa harus menjadi serakah, seperti ketika kita memejamkan mata dan mendengar suara hujan yang mengguyur dedaunan. Tuhan menyapa kita tidak hanya lewat kitab suci dan kotbah para nabi. Tiap waktu Tuhan menyapa kita, lewat daun gugur atau kicau burung, lewat gugusan bintang-gemintang atau bening embun malam, lewat kerasnya ombak di karang atau lembutnya kabut di gunung dan sebagainya.
 Hidup di zaman yang penuh saling curiga, pragmatisme dan segalanya serba dinilai dari uang. PERCAYALAH!. Saat ini masih ada orang yang tulus jiwanya dan bebas dari ikatan materi. Orang bijak-rendah hati yang bebas dari demam tujuan. Jika selama ini anda merasa belum menemukan orang seperti itu, berkacalah! Orang itu akan langsung berdiri dihadapan anda. Anda hanya perlu untuk mengenalnya lebih dalam lagi.
Jadi kenapa harus takut jadi diri sendiri? Jika itu bisa bikin kita lebih mengerti akan rahasia-rahasia Illahi. Tuhan adalah keindahan. Dekat denganNya  akan membuat kita bisa melihat keindahan kemanapun kita memandang dan melangkah. Dan jika waktunya ajal akan menjemput kita. Kitapun kan bisa menghadapi dengan lapang dada dan senyuman dibibir. Tidak ada takut lagi, karena sudah biasa bertualang sendirian. Tidak ada gentar lagi Karena dalam kepasrahan Pada KuasaNya, segalanya indah adanya. Hidup indah matipun indah, siang indah malampun indah,  fajar indah senjapun indah, Surga indah nerakapun indah.
Kalau bisa memilih, anda akan memilih  bisa/mampu melihat keindahan Neraka, atau bisa masuk Surga tapi tersiksa. Dalam kehidupan nyata, sekarang ini banyak orang berlomba-lomba bahkan dengan menipu diri agar bisa masuk dan dicap golongannya para sosialita (surganya dunia?).  Tapi ada seorang wanita kuaya-raya yang justru merasa capek dan tersiksa hidup di dunia gemerlap yang penuh iri hati dan keserakahan itu.  Wanita itu justru kini lebih suka berkeringat menari dan melakukan meditasi untuk lebih bisa mengenal kesejatian diri.
. “Kesederhanaan itu ternyata menentramkan dan mengasyikkan.” Begitulah wanita itu pernah mengatakan. Yah,  hidup dan penampilan wanita itu  kini memang lebih sederhana dan apa adanya. Sementara untukku sendiri yang hanya seorang gelandangan, cukup meyakini ucapan RM. Sosrokartono, bahwa benar kita bisa SUGIH TANPO BONDHO!.

sumber : http://www.facebook.com/groups/20369925865/doc/10151098927000866/

budaya yang ada di tanah pasundan

jika tadi kita sudah bahas tentang budayanya orang jawa, sekarang kita akan sedikit membongkar budaya dan adat dari tanah pasundan. seperti orang - orang jawa, orang sunda juga sangat terkenal dengan berbagai budayanya, serta tingkah laku yang sopan santun dan halusnya tutur kata dari orang - orang sunda. dan bi bawah ini adalah sebuah artikel yang membahas tetang berbagai budaya yang ada di tanah pasundan.

                                                     
UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUNDA
Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminat mempersunting seorang gadis. Lamaran dilaksanakan oleh orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertai seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih pinangkomplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin tidak wajib harus dibawa. Misalnya dibawa, biasanya berupa cincing meneng, melambangkan kemantapan dan keabadian.
Tunangan, dilakukan ‘patuker beubeur tameuh’, yaitu penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos kepada si pihak wanita.
Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa pakaian, uang, perabot rumah tangga, makanan, dan lain-lain. 
Ngeuyeuk seureuh Dipimpin pengeuyeuk. Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau benda yang disediakan berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya. Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk Disawer beras, agar hidup sejahtera. dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih sayang dan giat bekerja. Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang akan dibina masih bersih dan belum ternoda.Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri.
Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon pengantin pria). Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadisatu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti kedua orang tua dan para tamu yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikan kepada saudara dan handai taulan. Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rejeki dan disayang keluarga. Upacara Prosesi Pernikahan Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
 

 Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan. Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah. Sungkeman,Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantindipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung.Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria. Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinyadicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan.

Budaya Sunda, dikenal sebagai budaya yang menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya budaya Sunda memiliki karakter ramah, mudah senyum, sopan, lembut dan sangat hormat kepada orang tua. Didalam budaya Sunda, mereka diajarkan bagaimana berbicara lembut terhadap orang yang lebih tua.
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu budaya tertua yang ada di nusantara, Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam.  Terdapat beberapa ajaran budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu adalah cageur, bageur, singer dan pinter, yang dapat diartikan "sembuh" (waras), baik, sehat (kuat), dan cerdas.
Kebudayaan Sunda memiliki macam-macam seni dan budaya, diantaranya:
 
1.       Wayang Golek
Wayang Golek
Golek yaitu merupakan semacam boneka yang terbuat dari kayu yang ditampilkan dan membawakan alur cerita bersejarah. Wayang Golek ini dimainkan oleh seorang Dalang dan diiringi oleh nyanyian serta iringan musik tradisional Jawa Barat yang biasa disebut Degung.
  






2.       Degung
Degung
Kesenian Degung biasanya digunakan untuk musik pengiring/pengantar. Degung ini merupakan gabungan dari peralatan khas kesenian Jawa Barat  yaitu, gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan sebagainya.






3.   Kuda Renggong 
Kuda Renggong
atau Kuda Depok ialah salah satu jenis kesenian helaran yang terdapat diKabupaten Sumedang, Majalengka dan Karawang. Cara penyajiannya yaitu, seekor kudaatau lebih di hias warna-warni, budak sunat dinaikkan ke atas punggung kuda tersebut,Budak sunat tersebut dihias seperti seorang Raja atau Satria, bisa pula meniru pakaian para Dalem Baheula, memakai Bendo, takwa dan pakai kain serta selop.











 sumber : http://www.hadisukirno.com/artikel-detail?id=193

kebiasaan - kebiasaan dari suku jawa.

dari blog sebelah saya dapatkan sebuah artikel menarik, lagi - lagi dari suku jawa. suatu kebiasaan yang selalu ada dalam masyaarakat jawa mulai dari para leluhur sampai sekarang ini yang masih tetap di jalankan dan masih di lakukan untuk menjalani kehidupan sehari - harinya. dan di bawah ini adalah kebiasaan - kebiasaan dari suku jawa.
                                                  

1. Syukuran saat seorang wanita mulai hamil .
            Pada saat seorang wanita terlambat haidnya, diadakan upacara syukuran pada hari weton si wanita. Weton adalah saat lahir seseorang, berdasar Kalender Jawa. Tembung Weton berasal dari tembung metu atau keluar, maksudnya hari lahir.  Jika dalam Kalender Masehi dikenal hari-hari Senin sampai Minggu, maka dalam Kalender Jawa, dikenal hari-hari pasaran, yaitu Kliwon, Legi, Paing, Pon , dan Wage . Orang yang lahir hari Jumat Kliwon, berarti weton nya adalah Jumat Kliwon.
2. Syukuran  pada bulan ke dua, ke empat dan ke tujuh kehamilan
            Syukuran bulan ke empat disebut ngupati , atau ngapati (dari kata papat, atau empat) , dan syukuran bulan ke tujuh disebut mitoni (dari kata pitu atau tujuh), tingkeban. Selain bersyukur pada Tuhan, upacara syukuran itu juga dimaksudkan untuk mohon doa dan  berbagi rasa bahagia pada saudara, sahabat, dan tetangga. Bentuk rasa syukur, tergantung niat si empunya hajat. Bisa cukup sederhana, dengan sekedar membagikan bubur abang-putih dan jajan pasar pada kerabat dan tetangga; bisa juga dengan membagikan sega gudangan , bahkan mengundang kerabat dan tetangga, dan menjamunya dengan hidangan yang pantas. Semua upacara,selalu diawali dan diakhiri dengan doa.
            Dalam hadist dinyatakan, bahwa ruh manusia ditiupkan pada hari ke 120, atau pada umur kehamilan empat bulan. Di beberapa tempat, tumbuh dan berkembang tradisi baru, yaitu pengajian dan pembacaan doa pada umur kehamilan empat bulan.
3. Syukuran tingkeban
Upacara ini, biasanya dilakukan hanya pada kehamilan yang pertama.  Urutan upacaranya adalah seperti berikut.
3.1. Siraman calon ibu.
Mula-mula disiapkan air yang di dalamnya sudah diisi dengan kembang setaman .  Calon ibu memakai kain batik yang dililitkan (kemben ) pada tubuhnya..Dalam posisi duduk, calon ibu mula-mula disirami oleh suaminya, lalu oleh orang tua dan sesepuh lainnya. Maksud upacara ini adalah untuk mencuci semua kotoran, dan hal-hal negatif lainnya.
3.2.Tlisipan endog ayam .
Setelah siraman, calon ayah memasukkan endog ayam (telur ayam) (kampung) di bagian dada dari kain yang dikenakan calon ibu, lalu mengurutkannya ke bawah, sampai ke luar. Ini melambangkan permohonan, agar bayi lahir dengan lancar dan selamat.
3.3. Santun busono
Santun berarti berganti, busono adalah pakaian. Calon ibu secara bergantian memakai (melilitkan pada tubuh) 7 (tujuh) kain batik, yang berbeda coraknya. Ini melambangkan, bahwa ibu calon bayi sadar, bahwa dalam membesarkan dan mendidik anak nantinya, akan dijumpai berbagai corak kehidupan. Corak batik yang dipakai urut, mulai dari yang terbaik sampai terjelek, yaitu 1) sidoluhur, 2) sidomukti, 3) truntum, 4) wahyu tumurun, 5) udan riris, 6) sido asih, 7) lasem.
Setiap memakai corak kain, si calon ibu berlaku seperti peragawati di depan para tamu. Pada saat memakai sidomukti sampai sido asih, para tamu mengatakan “Bagus, tapi tidak cocok”, atau “Mahal tapi tidak serasi”, tetapi pada saat memaki corak yang paling sederhana, yaitu lasem, para tamu mengatakan:” Sederhana, tapi cocok”, “Biasa-biasa, tapi karena yang memakai cantik, ya serasi”. Ini melambangkan, doa agar si bayi nantinya menjadi orang yang sederhana.
Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Ada pengertian lain dari angka 7 ini yang disebut keratabasa . Angka 7, dalam Basa Jawa disebut pitu , keratabasa dari pitu-lungan (pertolongan).
3.4. Nyigar klapa gading
Selanjutnya, ibu dari si calon ibu menyerahkan kepada si calon ibu, dua butir kelapa gading, yang masing-masing telah digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembodro. Gambar tokoh wayang melambangkan doa, agar nantinya si bayi jika laki-laki akan setampan Dewa Kamajaya atau Arjuna, dan jika wanita secantik Dewi Ratih atau Sembodro. Kedua dewa dan dewi ni merupakan lambang kasih sayang sejati. Oleh si calon ibu, kedua butir kelapa diserahkan pada suaminya (calon bapak), yang akan membelah kedua butir kelapa gading menjadi dua bagian dengan bendo .  Ini melambangkan, bahwa jenis kelamin apa pun, nantinya, terserah pada kekuasaan Allah.
3.5. Dodol dawet lan rujak
Pada awal upacara, para tamu diberi duwit kreweng . Kreweng adalah genting yang dipecah. Sekarang, ada duwit kreweng yang dibuat khusus yang  ornamennya, yang dijual di pasar-pasar tradisional.  Beberapa perias penganten juga menyediakan uang kreweng ini. Kemudian, para tamu membeli dawet dan rujak , yang melayani (menjual) adalah si calon ibu dan calon ayah. Si calon ibu melayani pembelinya, sedang si ayah menerima uang untuk disimpan. Jual beli dawet dengan duwit kreweng , melambangkan doa agar lancarlah  rejeki yang akan diterima, dan niat calon ibu dan ayah untuk bersama-sama menyimpan kekayaan..
3.6. Kembul bujana
Kembul adalah bersama-sama, sedang bujana adalah makan, maksudnya makan bersama. Lazimnya disediakan nasi tumpeng. Ini merupakan acara akhir dari tingkeban .
4. Syukuran saat bayi lahir
Dalam tradisi Islam, pada setiap bayi yang lahir, ayahnya membisikkan adzan di telinga kanan bayi, dan iqomat di telinga kirinya. Jadi, suara yang pertama kali didengar adalah suara illahiah.
Setelah bayi lahir,  ari-ari (plasenta) dicuci bersih, dan diamati dengan seksama untuk memeriksa, mungkin ada bagian ari-ari yang tertinggal di rahim (robek). Setelah itu, ari-ari dibungkus dengan kain putih, lalu dimasukkan ke dalam kendil (periuk). Kendil diisi juga uba rampe , yaitu: kembang setaman , minyak wangi, kunyit, garam, jarum jahit, benang, kemiri, ikan asin, sirih yang digulung, dan alat tulis (pensil, buku tulis).  Lalu kendil ditutup, kemudian ditanam, biasanya di depan rumah. Ada juga yang menggantung kendil itu. Setiap malam, selama 40 hari, di atas kendil itu dinyalakan lampu minyak tanah. Sebelum dan sesudah kendil itu ditanam, ayah si bayi memanjatkan doa.

5. Syukuran sepasaran, selapanan, dan puputan
Syukuran sepasaran dan selapanan dilaksanakan saat bayi berumur 5 dan 35 hari, syukuran puputan dilaksanakan pada hari setelah tali pusar bayi lepas (putus).
Pada saat bayi puput , orang tuanya memberi nama pada anaknya. Mestinya dipilih nama yang indah dan mengandung doa. Biasanya, tali pusar yang putus itu dikeringkan, dibungkus kain putih, lalu disimpan.
Di beberapa tempat, orang tua bayi mengirimkan berkatan , yaitu makanan (nasi dan lauk pauk) di dalam besek (sekarang doos) pada kerabat dan tetangga, disertai secarik kertas bertuliskan nama anaknya dan permohonan doa
Dalam  Islam disyariatkan pada hari ke tujuh dilakukan potong rambut bayi, sekaligus pemberian nama. Ada juga orang tua yang meng-aqiqahkan anaknya pada saat masih bayi.
6. Syukuran tedak siten
Tedak berarti turun, dan siten berasal dari kata siti , yang berarti tanah. Dalam tradisi Jawa, saat seseorang menginjakkan kakinya pada bumi, Sang Ibu Pertiwi, untuk pertama kalinya, amatlah penting.
Upacara ini dilakukan pada saat bayi berumur pitung lapan , atau 7 lapan, atau 7 X 35 hari, dijatuhkan pada hari weton si bayi; jika bayi lahir pada Senin Kliwon , maka tedak sitennya dilaksanakan pada Senin Kliwon juga.
Uba rampe yang disiapkan adalah:
1. Jadah (ketan sudah dimasak, lalu ditumbuk), 7 warna, yaitu: hitam, merah, putih, kuning, biru, hijau, dan ungu. Setiap warna, ditempatkan dalam piring kecil, lalu ditempatkan membentuk garis lurus menuju kurungan ayam.
2.  Tangga yang dibuat dari tebu wulung (kulitnya berwarna wulung , ungu), dengan 9 anak tangga; tangga ini disandarkan pada kurungan ayam. Dipilih angka 9, karena merupakan angka maksimum. Tebu wulung merupakan singkatan ‘ante ping kalbu wu juding lelung an’.
3.  Kurungan ayam, yang dihias secukupnya, di dalamnya berisi barang kebutuhan sehari-hari, misalnya alat tulis, uang, mainan anak, dan sebagainya
4.  Kembang setaman , dimasukkan ke dalam bokor yang berisi air.
5.  Beras kuning yang dicampur uang receh (koin)
6.  Tumpeng, bubur abang putih , dan jajan pasar
Urutan upacara adalah seperti berikut.
  1. Dengan dituntun ibunya (Jawa dititah atau ditetah ), si bayi menginjakkan kaki pada jadah aneka warna, menuju tangga tebu wulung , langsung menaiki tangga itu. Upacara menginjak jadah aneka warna ini melambangkan, bahwa si ibu mendidik anaknya mengarungi samudera kehidupan yang beraneka warna; si ibu juga membimbing anaknya menaiki tangga tebu, agar anaknya mampu meningkatkan harkat dan martabatnya..
  2. Kurungan ayam dibuka, si bayi dimasukkan ke dalamnya, lalu kurungan ditutup lagi. Biarkan si bayi mengambil barang-barang atau permainan yang ada di dalamnya. Benda apa yang diambil si bayi, dianggap apa yang menjadi cita-citanya. Jika si bayi mengambil uang, dianggap ia akan bekerja di bank, jika mengambil alat tulis, dianggap ia akan menjadi cerdik pandai.
  3. Setelah itu,bayi dimandikan atau cuci muka dengan air kembang setaman .
  4. Beras kuning ditaburkan, di sekitar kurungan. Para tamu boleh merebut atau mengambil uang recehnya. Ini melambangkan, semoga setelah dewasa, si bayi mempunyai sifat dermawan, suka memberi.
  5. Terakhir adalah kembul bujono.
Pada syukuran-syukuran itu, lazimnya disajikan nasi tumpeng, bubur merah putih, dan jajan pasar. Setelah doa, tumpeng dimakan bersama. Ada juga yang mengirimkan nasi gudangan ke tetangga.
7. Khitanan
Khitanan dapat dilakukan oleh juru khitan, atau dukun sunat sekarang dilakukan oleh petugas medis (dokter), dan paramedis (mantri). Di kota-kota, dijumpai ‘khitan center’. Khitanan dapat dilakukan di rumah, di rumah sakit, klinik, atau khitan center. Bahkan, ada juga khitanan masal.  
Ada berbagai variasi upacara khitan; ada yang sekedar ke klinik, lalu pulang, selesai. Ada juga yang lebih rumit; anaknya memakai pakaian kejawen (dari blangkon sampai nyampingan), ada acara sungkeman, dan sebagainya. Kiranya, urutan upacara dan ramainya upacara khitanan, tergantung pada orang tua si anak.
8. Pernikahan
a.Melamar
            Bapak  dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan. Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup. Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau tumplak punjen.
b.Serah-Serahan
            Setelah dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau disebut juga 'pasoj tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon mempelai putra menyerahkan barang-barang tertntu kepada calon mempelai putri sebagai 'peningset', artinya tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap, sejumlah uang, dan adakalanya disertai cincin emas buat keperluan 'tukar cincin'.
c.Pingitan
Saat-saat menjelang perkawinan, bagi calon mempelai putri dilakukan 'pingitan' atau 'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon  mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya.
d.Pasang Tarup
            Upacara pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan 'bleketepe' (anyaman daun kelapa) yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai putri, yang ditandai pula dengan pengadaan  sesajen. Tarup adalah bangunan darurat yang dipakai selama upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki persyaratan khusus yang mengandung makna religius, agar rangkaian upacara berlangsung dengan selamat tanpa adanya hambatan. Hiasan tarup, terdiri dari daun-daunan dan buah-buahan yang disebut 'tetuwuhan' yang  memiliki nilai-nilai simbolik.
e.Siraman
            Makna upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan dan pembersihan diri lahir batin kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah masing-masing. Juga merupakan media permohonan doa restu dari para pinisepuh. Peralatan yang dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7 sumur, kendi dan bokor. Orangtua calon mempelai putri mengambil air dari 7 sumur, lalu dituangkan ke wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri mengambil air 7 gayung untuk diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya ke kediaman calon mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman kepada orangtua calon pengantin serta para pini sepuh. Siraman dilakukan pertama kali oleh orangtua calon pengantin, dilanjutkan oleh para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon mempelai mempelai putri, menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai sembari mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah pecah pamornya").
f. Paes/ Ngerik
            Setelah siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai lambang upaya memperindah diri secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru pada tahap 'ngalub-alubi' (pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya pada saat akan dilaksanakan temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri, ditunggui oleh para ibu pini sepuh. Sembari menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta memanjatkan do'a agar dalam upacara pernikahan nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan semoga kedua mempelai nanti saat berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi keturunan dan rezeki.
g. Dodol Dawet
            Prosesi ini melambangkan agar dalam upacara  pernikahan yang akan dilangsungkan, diknjungi para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam upacara ini, ibu calon mempelai putri bertindak sebagai penjual dawet, didampingi dan dipayungi oleh bapak calon mempelai putri, sambil mengucapkan : "Laris...laris". 'Jual dawet' ini dilakukan dihalaman rumah. Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'. Maknanya, 'ndulang' (menyuapi) untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan menikah. Dianjurkan dengan melepas 'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas, serta mengikat 'ayam lancur'  dikaki kursi mempelai putri. Ini diartikan sebagai simbol melepas sang putri yang akan mengarungi bahtera perkawinan.
            Upacara berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman depan dan 'pasang tuwuhan' (daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya adalah 'mendem sesuker', agar kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang menghadang dan dapat meraih kebahagiaan.

h. Midodareni
            Ini adalah malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai bujang dan dara sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap upacara di kediaman  calon mempelai  putri. Tahap pertama, upacara 'nyantrik', untuk  meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan hadir pada upacara pernikahan yang waktunya sudah ditetapkan. Kedatangan calon mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta kerabat untuk menghadap calon mertua.
Tahap kedua, memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri sudah siap melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya. Pada malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana layaknya. Setelah menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai putri diantar kembali masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat persiapan upacara esok hari. Sementara para pni sepuh, keluarga dan kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau 'tuguran', dimaksudkan untuk mendapat rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian upacara berjalan lancar dan selamat.
i. Pernikahan
            Pernikahan, merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut keyakinan agama si calon mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa dilangsungkan di masjid atau di kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk Kristen dan Katolik, pernikahan bisa dilangsungkan di gereja.
Ketika pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak diperkenankan memakai keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah dilangsungkan upacara adat, yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.
j. Panggih (Temu)
            Sudah menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap, tapi dimungkinkan hanya dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di Jawa Tengah. Diawali dengan kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa 'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai penebus.
Upacara dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Konon, segala peristiwa yang menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah masyarakat, perlu kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan sebagai penjaga serta penangkal (tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna bahwa  setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 'Panggih' atau 'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra, yang berlangsung sebagai berikut :
1.Balangan gantal/ Sirih
Mempelai putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik panggih'. Pada jarak lebih kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah lemparan mempelai putra diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkannya ke paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih suami terhadap istrinya, dan si istri pun menunjukan baktinya kepada sang suami.
2.Wijik
Mempelai putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri membasuh kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah wijik dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa betah di rumah. Lalu diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada mempelai putra.
3.Pupuk
Ibu mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra sebanyak tiga kali dengan air kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan secara ikhlas terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya.
4.Sinduran/ Binayang
Prosesi ini menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke pundak kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu mempelai putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu.
5.Bobot Timbang
Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai putri berada dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara ini disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo abote," ("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan beratnya.
6.Guno Koyo - Kacar-kucur
Pemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan pemberian nafkah yang pertama kali dari suami kepada istri. Yakni berupa : kacang tolo merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah disiapkan serbet atau sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur dibungkus oleh mempelai putri dan disimpan.

9.Mati/Wafat
            Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan mayatnya).

            Sebelum mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil misalnya), terlebih dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga tertua sampai dengan termuda. Sedangkan meskipun slametan orang mati, mulai geblak (waktu matinya), pendak siji (setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk, tapi saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan gule. Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roh seseorang yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai berpuasanya.
◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2013. Pengembara Sukma -